Senin, 02 November 2009

Seminar Jepang

PERANAN PELATIHAN INTERAKSI BAHASA

DALAM UPAYA PENINGKATAN JUMLAH

KUNJUNGAN WISATAWAN JEPANG KE INDONESIA[1]

Oleh Iim Rogayah Danasaputra Dra., M. Hum.

Abastrak: Salah satu kelemahan yang menghambat perkembangan pariwisata Indonesia adalah kurangnya tenaga professional pariwisata. Pendidikan pariwisata formal yang ada tidak sebanding dengan kebutuhan, dan pendidikan informal merupakan salah satu pilihan yang relatif lebih cepat dengan biaya yang tidak terlalu besar. Pelatihan interaksi bahasa merupakan salah satu pilihan yang dapat diberikan kepada para tenaga pariwisata agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik. Apa itu interaksi bahasa, dan bagaimana interaksi bahasa Jepang dapat diberikan akan menjadi sorotan utama tulisan ini.

  1. Pendahuluan

Sektor pariwisata Indonesia pada era Milenium III ini diprediksi akan mengalami perkembangan yang lebih cepat terlebih setelah pemerintah menetapkan bahwa sektor pariwisata Indonesia akan dijadikan salah satu sumber perolehan devisa terbesar setelah minyak bumi dan gas alam cair. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia selama empat tahun terakhir ini menjadi salah satu faktor utama yang menghambat lajunya perkembangan pariwisata di Indonesia sebagaimana yang telah direncanakan. Hal ini terlihat dari menurunnya secara tajam jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia. Meskipun demikian, hasil penelitian yang dilakukan oleh Deparsenibud Bali baru-baru ini menunjukkan bahwa jumlah wisatawan asing yang datang ke Bali sudah mulai meningkat, terutama wisatawan Asean (khususnya wisatawan Jepang) yang melebihi jumlah wisatawan negara lainnya.

Kekayaan alam yang begitu indah dan beraneka ragam jenisnya, corak budaya dan adat istiadat yang bermacam-macam dan lengkapnya berbagai sarana dan prasarana pariwisata di objek wisata di Indonesia menjadi pendorong dan penarik utama wisatawan asing untuk datang ke Indonesia, terutama kunjungan ke pulau Bali. Fakta ini tentu sangat melegakan dan patut dicatat terutama oleh para penentu kebijakan kepariwisataan sekaligus menepis anggapan bahwa aman tidaknya suatu negara sangat berpengaruh pada perkembangan pariwisata suatu negara. (Spillane,1994:92).

Memanfaatkan semua kelebihan di atas agar dapat bersaing secara terbuka tentu saja bukan pekerjaan mudah mengingat beberapa negara lain pun menjadikan sektor pariwisata sebagai penghasil devisa utama negaranya. Hawai misalnya dapat berkembang dengan baik berkat usahanya yang gigih dalam menjadikan pariwisata sebagai penghasil income terbesar. Sastraatmaja (2000:7) mengatakan bahwa sektor pariwisata di Indonesia dapat memberikan sumbangan yang cukup bermakna bagi pemasukan devisa negara apabila mampu menyelesaikan secara arif dan bijaksana empat kendala utama dalam upaya peningkatan pariwisata Indonesia, yaitu kurangnya tenaga profesional, minimnya dana promosi, kurang siapnya sarana dasar, dan dana investasi yang cukup mahal. (Lihat juga Spillane, 1994:93)

Tiga di antara keempat kendala yang disebutkan di atas sangat erat kaitannya dengan pengadaan, dan pendistribusian dana, akan tetapi mengingat Indonesia masih dalam kondisi politik dan ekonomi yang rawan seperti sekarang ini, penyelesaian masalah seperti demikian pasti memerlukan waktu yang lebih lama. Ihwal kendala kurangnya tenaga profesional (cakap, terampil, memiliki skill tinggi dan pengabdian dalam bidangnya) masih memungkinkan dilakukan beberapa langkah kebijaksanaan yang relatif lebih cepat dengan biaya yang tidak terlalu besar.

Selama ini kurangnya tenaga kerja sebagian besar disebabkan oleh belum banyaknya lembaga-lembaga pendidikan khusus di bidang pariwisata, mahalnya biaya untuk mengikuti pendidikan ini sehingga menurunkan minat masyarakat. Selain itu masyarakat belum memahami akan manfaat serta hasil akhir dari mengikuti pendidikan pariwisata, dan bahasa.

2. Pendidikan Pariwisata

Pendidikan tenaga kerja dalam bidang pariwisata memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan industri pariwisata, dan pendidikan yang berhasil dapat mengajar tenaga wisata tentang beberapa sifat atau sikap yang merupakan kunci keberhasilan. Karena itu, filsafat pendidikan harus menekankan kepentingan disiplin, kejujuran, keingintahuan, profesionalisme, keinginan untuk maju, effisiensi dan ketelitian, kemampuan mengerti orang lain dan kehalusan perasaan terhadap orang lain khususnya kepada para tamu.

Ada dua jenis pendidikan pariwisata, yaitu pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal tentu saja harus berfokus pada keterampilan teknis, kemampuan menguasai bahasa asing, pengertian antar kebudayaan, kemampuan menghargai dan menghormati kebudayaan lain, kemampuan mengerti perbedaan selera, keterampilan manajemen, kemampuan menggunakan komputer dan teknik mengumpulkan data, dan kemampuan bergaul dengan wisman. Sementara pendidikan informal atau “ pendidikan khusus untuk industri pariwisata” menurut istilah Spillman harus berfokus pada hospitality.

Pendidikan khusus ini berfokus pada hosting (yaitu penerimaan tamu atau permainan peranan sebagai tuan rumah). Hosting bukan hanya tersenyum, ramah, sopan atau baik namun juga harus mengerti baik filsafat pariwisata suatu daerah wisata tertentu maupun intelektual dan emosional wisman sebagai individu.

Yoeti (1987: 123) yang mengutip pasal 5 Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-bangsa No 870 mengatakan bahwa wisatawan itu adalah “setiap orang yang mengunjungi suatu bangsa yang bukan merupakan tempat tinggalnya yang biasa, dengan alasan apapun juga, kecuali mengusahakan suatu pekerjaan yang dibayar oleh negara yang dikunjunginya.”

Berdasarkan definisi di atas, dapatlah dimengerti apabila wisman tersebut berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan wilayah secepat mungkin supaya mereka dapat menyerap, menerima dan menikmati semua hal yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada saat mereka datang ke suatu wilayah wisata, mereka juga berharap bahwa mereka akan dipandang dan diperlakukan sebagai tamu. Apabila semua kebutuhan batin ini dapat diperolehnya, maka para wisman tersebut akan merasa betah/kerasan. Kesan baik ini akan mendorongnya untuk datang, dan datang lagi ke tempat yang sama dan pada gilirannya diharapkan mampu mendorong minat untuk mengetahui daerah wisata lainnya. Selain itu, wisman yang puas akan selalu menyebarluaskan reaksi-reaksi atau kesan-kesan positifnya secara lisan kepada orang lain yang mungkin suatu saat akan begitu tertarik dan mengunjungi tempat yang sama. Dengan demikian, iklan lisan terus berlangsung secara estafet, murah, dan efektif.

Sebenarnya pendidikan khusus pariwisata ini harus diberikan kepada semua pihak yang bergerak dalam industri pariwisata, terutama pekerja tingkat bawah, orang pertama yang berhubungan langsung dengan wisatawan, seperti pegawai hotel, motel, penginapan, rumah makan, pekerja di tempat hiburan, dan mereka yang bekerja di Kantor Penerangan Pariwisata. Selain itu, mereka yang bekerja sebagai polisi, penjaga wartel, tukang ojek, petugas kebersihan, penjaga toko, tenaga kesehatan, pegawai bank, dan masyarakat wilayah wisata harus pula diberi pendidikan yang sama agar wisman merasa kerasan karena semakin besar rasa senang mereka tinggal di wilayah wisata tersebut, semakin lama waktu tinggal mereka, dan itu artinya semakin banyak pula mereka mengeluarkan uang.

Untuk mereka ini pendidikan khusus dapat diberikan dalam bentuk latihan, penataran, keterangan atau informasi saja dan bisa diberikan secara berkala agar mereka dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam menghadapi wisman.

3. Pendidikan Bahasa

Selain pengetahuan tentang kepariwisataan dari seluruh aspek, pengetahuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahasa. Pateda (1990:6) menyatakan bahwa bahasa itu berwujud deretan bunyi yang bersistem, merupakan alat, dan bersifat individual dan kooperatif. Sedangkan Hill (1958:3-9) mengatakan bahwa hubungan antara bunyi bahasa dan referennya bersifat arbitrer

Dilihat dari fungsinya, bahasa merupakan alat komunikasi untuk berhubungan dengan orang lain, dan alat kebudayaan dalam mencatat apa yang telah dan akan terjadi. Dilihat dari bentuknya, bahasa itu terbagi dalam dua bagian besar yaitu: bahasa lisan dan bahasa tulisan. Para linguis menganggap bahasa tulisan sebagai objek sekunder karena dari sebuah kalimat yang tertulis, pembaca akan sulit menerka apa yang tersirat dalam tulisan tersebut. Hal ini berbeda dengan bahasa lisan yang memungkinkan penerima pesan untuk meminta penjelasan apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut.

Bahasa lisan dianggap lebih sempurna daripada bahasa tulisan karena orang yang sedang berbicara dapat menambahkan unsur-unsur suprasegmental, dan berbagai gerakan anggota badannya sehingga ucapannya dapat terdengar lebih jelas dan mudah dipahami. Berkaitan dengan pendidikan bahasa bagi para pelaku pariwisata sebagaimana disebutkan di atas, maka pendidikan bahasa lisan merupakan pilihan yang terbaik.

3.1. Pendidikan Bahasa Jepang

Struktur bahasa Jepang berbeda dengan bahasa Indonesia, dan untuk menguasainya memerlukan metoda tertentu, waktu yang lama, latihan tertentu dan hal-hal lain yang umumnya harus dilakukan dalam suatu pendidikan formal. Meskipun demikian, secara pragmatis terutama untuk komunikasi ada beberapa pemahaman yang dapat dipelajari oleh para pelaku industri pariwisata.

Pertama: Konsep dasar hospitality harus tetap menjadi acuan dalam menentukan materi ajar pelatihan bahasa. Alih-alih kerkomunikasi dengan ramah dan sopan malah secara tidak disadari menyinggung dan melukai harga diri wisman Jepang tersebut. Untuk itu, dalam menentukan kisi-kisi materi latihan perlu disisipkan penjelasan budayanya sehingga para peserta mengetahui ungkapan mana yang layak dan harus diucapkan dan kalimat mana saja yang selayaknya dihindari.

Edizal (1991:1) mengatakan bahwa bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa yang mengenal system Honorifik (tingkatan bahasa). Pemakaiannya harus mempertimbangkan banyak faktor mencakup status social serta situasi yang mengiringinya, digunakan oleh laki-laki atau perempuan dan bagaimana bentuk hubungan yang mengikat antara mereka.

Materi yang dicakup dalam suatu pelatihan bahasa untuk para pelaku pariwisata tingkat bawah tentu tidak harus serumit itu. Yang paling penting adalah membantu mereka agar mampu berkomunikasi secara sederhana namun benar dan sopan sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Edizal dalam bukunya yang berjudul Ungkapan Bahasa Jepang. Pola Komunikasi Manusia Jepang menyatakan ada 50 ungkapan yang perlu diketahui. Mugiarto (1996:1-28) menyederhanakannya menjadi 26 ungkapan yang meliputi:

1. Ucapan atau Kalimat Persalaman:

Konnichiwa= ‘Selamat siang’

Ogenki desu-ka= ‘Apa kabar?’

2. Ucapan perpisahan:

Sorosoro ikanakereba-narimasen= ‘Sebentar lagi sudah harus pergi.’

Mata oai-shimashoo= ‘Sampai jumpa lagi.’

3. Ucapan formalitas:

Omedetoo-gezaimasu= ‘Selamat’

Otegami tanoshimi-ni= ‘Senang menerima surat anda’

4. Pernyataan terima kasih dan balasannya:

Doomo arigatoo-gozaimasu= ‘Terima kasih banyak’

Doo itashimashite= ‘Terima kasih kembali’

5. Pernyataan maaf dan balasannya:

Sumimasen/gomennasai= ‘Maaf’

Goshinpai naku= ‘Tidak usah khawatir’

6. Pendekatan pada seseorang:

Sumimasen/gomennasai= ‘Maaf’

7. Memasuki ruangan:

Ojamashimasu= ‘Hallo. Maaf mengganggu’

8. Menyambut tamu:

Doozo ohairi-kudasai= ‘Silahkan masuk’

Doozo oraku-ni= ‘Silahkan santai saja’

9. Jawaban mengiyakan:

Wakarimashita= ‘Sudah mengerti’

10. Jawaban menyangkal:

Wakarimasen= ‘Tidak mengerti’

11. Ucapan penegasan:

Tashika-desuka= ‘Betulkah’

12. Pernyataan kurang mengerti:

Nan desu-ka= ‘Maaf kurang jelas’

13. Permintaan agar berbicara lebih lambat:

Motto yukkuri hanashite-itadakemasuka= ‘Dapatkah berbicara lebih lambat lagi?’

Motto yukkuri hanashite-kudasai= ‘Tolong ulangi dengan lebih lambat.’

14. Permintaan agar mengulang kembali:

Moo ichido onegai-shimasu= ‘Tolong ulangi sekali lagi’

15. Pernyataan kurang lancar berbicara bahasa Jepang:

Joozuni-hanasukoto-ga dekimasen= ‘Saya tidak dapat berbicara dengan lancar’

16. Menanyakan arti:

Dooyuu imi desu-ka= ‘Artinya apa?’

17. Ucapan permintaan:

Onegai-shite-moyoroshii-desu-ka= ‘Bolehkah saya minta tolong pada anda?’

18. Permintaan mempercepat sesuatu:

Isoide-itadake-masu-ka= ‘Bisakah anda bergegas?’

19. Permintaan menunggu:

Chotto matte-kudasai= ‘Silahkan tunggu sebentar’

20. Penolakan:

Iie kokke-desu= ‘Tidak usah’

21. Meminta persetujuan:

Kore-de ii-desu-ka= ‘Bolehkah dengan ini?’

22. Memperkenalkan diri:

Watashi-wa gaikokujin desu= ‘Saya adalah orang asing’

23. Pertanyaan dalam percakapan:

Watashi-no namae-wa-desu= ‘Nama saya--------‘

24. Menanyakan penjelasan:

Nani-ga atta-no-desu-ka= ‘Ada apa?’

25. Menanyakan waktu:

Nan-ji desu-ka?= ‘Pukul berapa?’

26. Menanyakan tempat:

Toire-wa doko desu-ka?= ‘Dimanakah toilet?’

Kedua: Penjelasan budaya yang melatarbelakangi tepat/tidaknya suatu ungkapan dipergunakan dalam percakapan, menurut hemat penulis selayaknya diberikan agar wisman Jepang lebih kerasan tinggal karena mereka merasa diterima, dan dimengerti dengan lebih baik. Hal tersebut dikemukakan karena:

a. Orang Jepang sangat menghargai kelompoknya, sehingga apabila seseorang bertanya apa pendapatnya, dia akan balik bertanya apa pendapat si penanya. Bagi orang Jepang ada dua kata yang paling terkenal yaitu hone (suara hati yang sebenarnya) dan tatemae (suara hati yang mewakili kelompoknya), dan dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih cenderung memilih tatemae walaupun tidak mengabaikan hone. Akibat selalu menganggap penting apa yang dipikirkan orang lain, bahasanya pun kemudian berkembang menjadi ambigu.

b. Orang Jepang pantang menegur orang yang tidak atau belum dikenal

c. Orang Jepang selalu mengucapkan hai (yes) atau ee, so desi ne (yes, quite right) untuk menunjukkan bahwa dia mendengarkan apa yang dibicarakan oleh teman bicaranya walaupun mungkin dia tidak memahami secara keseluruhan. Ungkapan-ungkapan seperti itu disebut aizuchi (Yes, I am listening). Pengulangan ungkapan tersebut di atas boleh dilakukan untuk menunjukkan perhatian yang lebih besar.

d. Penggunaan kata anata sebaiknya dihindari karena itu dapat menyingung perasaan wisman. Kata anata menunjukkan dua makna yang sangat khusus bagi orang Jepang. Pertama anata hanya boleh ditujukan kepada orang yang memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sangat dihormati, dan dijunjung tinggi dalam lingkungan keluarga seperti panggilan seorang istri kepada suaminya. Berikutnya anata ditujukan kepada orang yang tidak dikenal, asing, dan di luar lingkungan.

3.2. Pendidikan Budaya Jepang

Selain pengetahuan tentang kepariwisataan dari seluruh aspek, pengetahuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan tentang budaya suatu bangsa. Pariwisata dengan budaya merupakan dua mata rantai yang tidak terpisahkan. Seorang pakar pariwisata mengatakan bahwa salah satu jenis pariwisata yang tidak akan aus karena factor-faktor pisik seperti angin, badai, cuaca adalah budaya karena umumnya budaya diberikan dan dipelajari seseorang sejak masih dalam kandungan sampai meninggal. Dikaitkan dengan usaha meningkatkan jumlah wisatawan, aplikasi budaya secara umum tanpa mengabaikan budaya aslinya akan sangat membantu kelancaran upaya-upaya menarik wisatawan asing ke Indonesia karena mereka akan merasa bahwa kita tahu apa yang mereka inginkan, apa yang tidak disukai, dan akan membuat mereka kecewa, kesal dan marah sehingga wisatawan asing akan merasa nyaman, santai dan puas.

Ihwal jumlah wisatawan Jepang yang cenderung meningkat akhir-akhir ini patut kita catat untuk menentukan prioritas pembekalan pengetahuan praktis tentang budaya negara lain. Ada beberapa hal menarik yang perlu diketahui tentang budaya wisatawan Jepang yang dapat dijadikan acuan baik oleh mereka yang berkecimpung dalam menentukan jenis paket wisata maupun mereka yang bergerak dalam sarana pendukung kepariwisataan lainnya. (Gakken: 1990)

Pertama: Meskipun pekerjaan tetap merupakan bagian terpenting dalam kehidupan orang Jepang, dewasa ini ada kecenderungan untuk selalu bersenang-senang dan bepergian di akhir minggu atau waktu liburan lainnya. Menurut The Leisure Development Center’s 1987 White Paper: “ bepergian menjadi bentuk kegiatan ke 3 setelah makan-makan di luar rumah dan mengendarai mobil”. Tahun 1998 dilaporkan bahwa penjalanan ke luar negeri meningkat sangat tajam dengan perbandingan 12%:23% dengan perjalanan di dalam negeri.

Kedua: Berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan untuk melepaskan lelah setelah bekerja keras selama kurun waktu tertentu, di Jepang banyak sekali jenis hiburan yang terdiri dari pub, tempat karaoke, bar, dan mahyong yang selalu dipenuhi para pekerja sebelum pulang ke rumahnya masing-masing. Selain liburan akhir tahun, liburan musim panas menjadi pilihan utama mereka dan itu berlangsung pada akhir Juli sampai akhir Agustus.

Ketiga: Orang Jepang sangat menghargai alam, senang berendam di air panas sehingga seringsekali objek-objek wisata lainnya hanya merupakan wisata tambahan dari air panas. Di negaranya sendiri dewasa ini terdapat lebih dari beribu ryokan, 2000 spas dan hot springs yang bertebaran di seluruh bagian Jepang.

Keempat: Orang Jepang makannya sangat cepat bila dibandingkan dengan wisatawan lain. Di negaranya berbagai restoran cepat saji dengan menu yang sangat variatif bertebaran di berbagai sudut kota seperti di stastiun kereta, di lapangan terbang, di haste-halte bis, di pusat-pusat perbelanjaan, di rumah-rumah sakit. Sehingga seringkali dapat ditemui di setiap statsiun kereta api, orang Jepang makan sambil berdiri sementara menunggu kereta api yang akan dinaikinya dalam waktu 5 menit.

Keempat: Orang Jepang sangat senang berbelanja terutama kaum wanitanya. Di negaranya, kaum wanitanya pergi ke supermarket setiap hari untuk belanja. Hal ini awalnya terjadi karena mereka senang akan makanan yang segar, namun dalam perkembangan selanjutnya wanita Jepang senang juga menimbun barang-barang yang dijual obral sehingga tidaklah mengherankan apabila obral menjadi trend tersendiri yang selalu ditunggu-tunggu kalau perlu mereka bersedia antri menunggu berjam-jam sebelum toko tersebut buka, dan langsung mengambil setiap barang yang dianggap murah. Mereka beranggapan bahwa dengan belanja sewaktu obral mereka telah menunjukkan kemampuan mengelola keuangan mereka. Hal yang patut dicatat, yang namanya obral di negara mereka, memang obral benar dan bukan obral-obralan setelah harganya dinaikan terlebih dahulu.

Kelima: Orang Jepang khususnya remajanya senang menggunakan kartu kridit untuk belanja berbagai keperluan, membeli pakaian, dan paket perjalanan ke luar negeri. Sekarang ini ada kecenderungan bahwa orang Jepang sering tidak menghitung jumlah pengeluaran untuk bepergian sehingga pengeluaran untuk hal-hal diluar kebutuhan hidup jauh lebih banyak daripada sebelumnya.

Keenam: Orang Jepang senang sekali memberi hadiah bahkan untuk hal-hal yang umum sekalipun seperti kunjungan ke rumah orang, pujian yang diberikan kepadanya dalam sebuah wawancara, informasi penting yang mereka terima, permulaan sekolah, lulus ujian, naik pangkat, menjadi dewasa (saat remaja Jepang berusia 20 tahun), sembuh dari sakit, dan banyak lagi. Pemberian hadiah bagi mereka dianggap sebagai tanda respek, perhatian dan kasih sayang). Di negaranya orang Jepang mengenal apa yang disebut Chugen (hadiah yang diberikan pada pertengahan tahun untuk merayakan kesehatan dan keakraban antara teman) dan seibo ( hadiah yang diberikan di akhir tahun sebagai tanda terima kasih atas semua kebaikan yang mereka terima dari siapa saja). Sehubungan dengan banyaknya jenis hadiah yang dikirimkan dan diterima, dewasa ini bermunculan toko-toko yang menyediakan jasa pengiriman hadiah lewat fax pada jam-jam tertentu, dan penjualan hadiah-hadiah bekas yang belum pernah dibuka dengan harga yang sangat miring. Mungkin tidak logis bagi sebagian besar bangsa lain, namun tetap unik karena menunjukkan hubungan social yang hangat dan erat.

4. Simpulan

Dari yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi bahasa merupakan bagian yang penting untuk diberikan dalam pelatihan-pelatihan tentang bahasa dan pariwisata bagi para pekerja pariwisata, karena penguasaan interaksi bahasa akan mampu membantu mereka melayani wisman khususnya wisman Jepang yang datang ke Indonesia dengan lebih baik. Pemahaman bahasa dan budaya Jepang diharapkan dapat membuat para pekerja pariwisata mengetahui apa yang baik dan benar menurut budaya Jepang. Dengan demikian, wisman Jepang yang datang akan merasa disambut dengan hangat dan bersedia tinggal lebih lama di Indonesia, dan lebih jauhnya bersedia mengajak saudara, kerabat, dan teman-temannya untuk datang dan datang kembali ke Indonesia.

Daftar Pustaka:

Edizal,

1996. Ungkapan Bahasa Jepang: Pola Komunikasi Manusia Jepang. Jakarta:

Kesaint Blanc.

Gakken,

1990. Japan as It is, Tokyo: Gakken Co Ltd Yoshio Tanaba

Mugiarto, Heri.

1996. Kata-kata dan Ungkapan Penting Percakapan Sehari-hari. Bandung: Pionir Jaya.

Pateda, Mansyur

1990. Linguistik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Sastraatmaja, Entang.

2000. Ranjau-ranjau Pengembangan Pariwisata. Artikel dalam Surat kabar Pikiran Rakyat 23 juli 2000, Bandung: PT Granesa.

Spillane, S.J. James J.

1994. Pariwisata Indonesia. Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Yatagai, Shusaku.

1987. Essays on Japan from Japan. Tokyo: Maruzen Co.

Yoeti, Oka. A

1987. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung. Penerbit Angkasa.



1.Diadaptasi dari makalah yang dibagikan dalam Seminar Internasional Peningkatan Bahasa Jepang Bagi Dunia Pariwisata Pada Milenium Ke 3 tanggal 25-26 Agustus 2000 di STBA YAPARI ABA Bandung.

2 komentar: